TUGAS ESAI
PENGANTAR ILMU HUKUM (PIH)
Apakah kelompok
(LGBT) yang mengajukan persamaan hak menikah dapat dikabulkan di Indonesia?
1.
MENURUT HUKUM UMUM
Keinginan mendapat pengakuan negara
terhadap perkawinan sejenis terus disuarakan oleh sejumlah kalangan. Salah
satunya Arus Pelangi yang
merupakan badan hukum yang
memperjuangkan hak-hak lesbian, gay, biseksual, transeksual dan
transgender (LGBT).
Direktur Arus Pelangi Rido Triawan
menyatakan bahwa dalam soal perkawinan, masih banyak sekali
diskriminasi-diskriminasi terhadap kelompok minoritas LGBT. Rido berharap LGBT
di akomodasi dalam UU Perkawinan. Kami tidak menginginkan kelompok LGBT ini
menjadi kelompok yang liberal, tidak terakomodir dalam hukum negara Indonesia
sehingga kami melihat adanya urgensi agar UU Perkawinan ini direvisi, tutur
Rido yang ditemui di Markas Arus Pelangi di kawasan Blora, Jakarta, Rabu
(17/10).
Rido sadar bahwa revisi UU No. 1
Tahun 1974 tersebut akan sangat riskan serangan dari semua kalangan, terutama
yang menentang keberadaan LGBT. Meski perkawinan
sejenis tidak diakui oleh agama manapun, Rido justru berpendapat bahwa
perkawinan bukanlah sebuah institusi agama, tetapi sebuah institusi negara.
Karena imbas dari perkawinan itu bukan pada agama tetapi kepada negara seperti
adanya hak anak, asuransi, pendidikan, pembagian waris dan sebagainya. Itu
semua berhubungan dengan lembaga kenegaraan, bukan lembaga agama, ungkap Rido.
Menurut Rido,
praktek selama ini yang dilakukan oleh LGBT dalam mengakomodasi komunitasnya
yang ingin melakukan perkawinan sejenis adalah dengan memfasilitasi dua orang
dari kelompok LGBT untuk membuat sebuah perjanjian kerjasama dan perjanjian ini
yang nantinya disahkan di hadapan notaris. Kami tidak menggunakan kata-kata
perkawinan atau pun tidak menggunakan akte nikah. Kami tidak bisa mengeluarkan
akte nikah karena kami bukan institusi negara, kata Rido.
Menurut Rido,
perjanjian tersebut sama sekali tidak mengikat seperti halnya sebuah pernikahan
karena hanya sebuah perjanjian secara perdata saja. Perjanjian tersebut, urai Rido,
untuk mengantisipasi jika ada pasangan gay yang telah mencampurkan hartanya
kemudian berpisah, dapat segera diselesaikan khususnya mengenai pembagian harta
gono gini.
Ke depan, Rido
mengungkapkan bahwa LGBT akan memperjuangkan hak-haknya melalui RUU Anti
Diskriminasi yang tengah dibahas di DPR dengan memasukkan semua persoalan lewat
Daftar Investarisasi masalah (DIM). Fokus kita bahwa LGBT ini harus menjadi
bahan pokok diskusi di kalangan anggota DPR, tandas Rido.
Pernyataan Hartoyo juru
bicara Ourvoice, lembaga pembela kaum homoseksual
dan komunitas Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT) yang menyatakan
bahwa menjadi seorang homoseksual dan LGBT merupakan bagian dari Hak Asasi
Manusia (HAM) yang dilindungi berdasarkan deklarasi Human
Right tahun 1948 mendapatkan bantahan keras
dari Saharuddin Daming, salah satu anggota Komisioner Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (KOMNAS HAM).
Menurut Daming, terjadi
kesalahpahaman dari masyarakat Indonesia terhadap definisi dan implementasi
dari keberadaan HAM itu sendiri di masyarakat. Daming menjelaskan HAM itu
bukanlah sebuah kebebasan tanpa batas, tapi HAM tetap memiliki batas. Adapun
batas-batas terhadap HAM itu adalah agama, kultur budaya, norma masyarakat dan
aturan hukum di tempat terkait.
“Orang telanjang bulat itu juga kan
hak asasi manusia, tapi ketika sudah ada aturan hukum yang menjelaskan bahwa
telanjang bulat itu hanya boleh di ruangan privasi, maka setiap yang
melakukannya di area publik itu bukan HAM lagi tapi kriminalitas,” jelas Daming
kepada Hidayatullah.
Daming juga membantah argumentasi
Hartoyo yang memelintir korelasi UUD 1945 dengan Deklarasi Human Right 1948
yang mengatakan bahwa UUD 45 juga melindungi kelompok homoseksual dan LGBT
kenyataannya itu adalah sebuah kebohongan argumentasi.
Daming mengutip Undang-undang no 39
tahun 1999 tegas disebutkan bahwa yang dimaksud hukum tentang HAM itu dalam
perspektif Indonesia adalah instrumen yang sudah diterima (baca: diseleksi)
sebagai hukum yang sesuai dengan hukum positif di Indonesia.
“Tidak ada itu yang menyebutkan
secara vulgar bahwa kebebasan HAM itu mencakup kebebasan ber-homo itu tidak
ada,” bantah Daming menjelaskan mengenai fakta deklarasi Human Right yang
sebenarnya tidak pernah bicara mengenai legalisasi LGBT.
Daming juga menekankan, pentingnya
untuk memahami bahwa HAM itu dalam implementasinya harus menyesuaikan dengan
kondisi nilai dari masyarakatnya. Kebebasan dengan gaya barat dengan budaya
ketimuran Indonesia adalah dua hal yang tidak bisa disamakan.
Bahwa di Barat homoseksual, seks bebas,
aborsi hingga LGBT itu ada yang melegalkan tentunya ini bukan berarti hal
tersebut bisa diterapkan di Indonesia dengan argumentasi HAM.
“Di Indonesia jangan coba-coba
menerapkan hal tersebut, karena kita ini bangsa yang bermartabat, yang
bermoral. Saya bingung kenapa orang Indonesia jadi lebih Barat dari Barat itu
sendiri,” jelasnya.
Daming sepakat pendapat umum,
homoseksual dan LGBT adalah sebuah penyakit sosial dan itu bisa disembuhkan.
Dari sini disimpulkan oleh beliau bahwa ketika HAM dalam definisi Barat itu
diterapkan di Indonesia dan bertentangan dengan nilai hukum, agama dan norma di
Indonesia, maka hal tersebut bukanlah HAM tapi kriminalitas.
2.
MENURUT HUKUM ISLAM
Ditemui secara
terpisah, Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma'ruf Amin dengan tegas menyatakan bahwa
pernikahan sejenis adalah haram. Masak laki-laki sama laki-laki atau perempuan
sama perempuan. Itu kan kaumnya Nabi Luth. Perbuatan ini jelas lebih buruk
daripada zina, ujar Ma'ruf.
Ma'ruf tidak
sepakat jika perkawinan sejenis dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia dan
nilai-nilai demokrasi. Ini orang-orang yang memutar balikkan. Orang-orang yang kawin sejenis adalah orang yang sakit, tandas Ma'ruf.
Penolakan
terhadap perkawinan sejenis juga dinyatakan oleh pengajar hukum Islam
Universitas Indonesia, Farida Prihatini. Itu tidak boleh. Dalam Al Quran jelas perkawinan itu antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Farida,
keharaman perkawinan sejenis sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Farida
berharap agar mereka yang melakukan perkawinan sejenis disadarkan bahwa hal
tersebut tidak diperbolehkan.
Di luar negeri
seperti Belanda, perkawinan sejenis memang dibenarkan. Bahkan pernah ada pria
warga negara Indonesia menikah dengan pria Negeri Kincir Angin itu. Di Amerika
Serikat, beberapa negara bagian juga menganut prinsip yang sama.
Lembaga-lembaga yang memperjuangkan hak-hak gay dan lesbian tumbuh. Lembaga
seperti American
Civil Liberties Union banyak
memperjuangkan hak-hak kaum gay dan lesbian.
3.
PENDAPAT PRIBADI
Khuntsa adalah
istilah yang digunakan oleh para fuqaha' untuk menyebut orang yang mempunyai
alat kelamin ganda, yang dalam bahasa Inggris disebut hermaphrodite, bisexual,
androgyne, gynandromorph dan inter-ex (al-Ba'albakki, al-Maurid, bab Khuntsa).
Dalam Mu'jam Lughat al-Fuqaha', karya Prof. Dr. Rawwas Qal'ah Jie, disebutkan
bahwa Khuntsa adalah al-ladzi lahu alat ad-dzakari wa alat al-untsa (orang yang
mempunyai kelamin pria dan wanita) (Qal'ah Jie, Mu'jam Lughat al-Fuqaha', h.
179).
Karena itu,
khuntsa ini merupakan qadha' (ketetapan) yang diberikan oleh Allah yang tidak
bisa dipilih oleh manusia. Kondisi ini berbeda dengan waria. Umumnya waria
adalah kaum pria yang menyerupai wanita, baik dalam hal tutur kata, pakaian,
gaya berjalan hingga penampilan fisik. Di antara mereka, bahkan ada yang telah
melakukan operasi plastik untuk mendapatkan wajah yang mirip dengan perempuan;
buah dada yang besar sebagaimana lazimnya perempuan; pinggul yang aduhai hingga
operasi ganti kelamin. Kelamin mereka yang asalnya laki-laki dipotong, kemudian
diganti menjadi perempuan.
Fakta waria
seperti ini jelas berbeda dengan khuntsa, karena itu dalam fikih Islam pun
mereka tidak bisa dihukumi sebagai khuntsa. Karena fakta masing-masing jelas
berbeda. Jika khuntsa ini merupakan bagian dari qadha' yang ditetapkan oleh
Allah, maka waria adalah bentuk penyimpangan perilaku. Penyimpangan perilaku
ini bukan hanya berlaku untuk kaum pria yang menjadi wanita, tetapi juga
berlaku sebaliknya, yaitu kaum wanita menjadi pria. Karena itu, status hukumnya
juga berbeda dengan hukum khuntsa.
Demikian juga
dalam kasus gay dan lesbi. Mereka sebenarnya bukan ditakdirkan suka kepada
sesama jenis, karena naluri seksual manusia pada dasarnya bukan hanya
membutuhkan pemenuhan, tetapi pemenuhan tersebut harus benar dan halal. Bagi
laki-laki, pemenuhan yang benar tentu bukan dengan laki-laki tetapi dengan
perempuan. Demikian sebaliknya, perempuan juga bukan dengan perempuan tetapi dengan
laki-laki. Itu baru pemenuhan yang benar. Jika tidak, maka mereka dianggap
melakukan penyimpangan seksual (hall[an] syadz[an]). Tetapi, pemenuhan
kebutuhan seksual laki-laki dengan perempuan saja tidak cukup, harus dilakukan
dengan cara yang halal, yaitu melalui pernikahan (hall[an] shahih[an]). Bukan
dengan perzinaan (hall[an] khathi'[an]).
a.
Laknat bagi Gay dan Waria
Nabi dengan
tegas melaknat para pelaku penyimpangan perilaku dan seksual ini. Ter-hadap
kaum waria, yaitu kaum pria yang menjadi wanita, Nabi dengan tegas menyatakan,
”Rasulullah melaknat kaum perempuan yang menyerupai pria, dan kaum pria yang
menyerupai wanita.” (HR. Bukhari, Abu Da-wud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibn
Majah dari Ibn 'Abbas). Hadits ini tidak hanya berlaku untuk waria, tetapi
perempuan yang menyerupai laki-laki. Tidak hanya itu, Nabi pun melaknat kaum
pria yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakaian pria (HR.
Ahmad dan Abu Dawud). Tidak hanya melaknat, Nabi pun memerintahkan agar mereka
diusir (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah).
Nas-nas ini,
menurut Imam Nawawi, menegaskan tentang keharaman tindakan penyimpangan
perilaku tersebut (as-Syaukani, Nailu al-Authar, II/107). Adapun tindakan
penyimpangan seksual, seperti Gay dan lesbi, dengan tegas dilaknat oleh Allah,
”Allah melaknat siapa saja yang melakukan tindakan kaumnya Luth, sebanyak tiga
kali.” (HR Ahmad dari Ibn 'Abbas). Tidak hanya itu, Nabi juga dengan tegas
memerintahkan agar membunuh pelaku (al-fa'il wa al-maf'ul) (HR Ahmad dari Ibn
'Abbas). Kedua nas ini juga de-ngan tegas menunjukkan haramnya penyimpangan
seksual tersebut.
Berbeda dengan
khuntsa, karena statusnya sebagai qadha' Allah, maka orangnya pun tidak dikenai
sanksi apapun. Sebaliknya, Islam pun mengatur status mereka, apakah dihukumi
laki-laki atau perempuan, maka dikembalikan kepada fungsi kelamin mereka yang
paling dominan. Setelah status mereka definitif, maka hukum Islam pun
diberlakukan kepada mereka sesuai dengan statusnya. Karena jenis kelamin dari
pihak yang dikenai seruan hukum (al-mukh-thab) dalam nas hanya ada dua: pria
dan wanita.
b. Sanksi
Hukum Islam
bukan hanya memberantas penyimpangan perilaku dan seksual, tetapi juga mencegah
agar penyimpangan tersebut tidak terjadi dan berkembang. Untuk mencegah
terjadinya penyimpangan perilaku, laki-laki menyerupai wanita dan wanita
menyerupai laki-laki, maka Islam melarang baik pria maupun wanita mengenakan
pakaian lawan jenisnya. Pria tidak diperbolehkan memakai baju perempuan dan
perempuan tidak diperbolehkan memakai baju laki-laki. Juga tidak diperbolehkan
memakai sandal, berdandan dan bergaya seperti lawan jenisnya.
Jika ada yang
melakukan penyimpangan perilaku tersebut, maka dengan tegas Islam memerintahkan
mereka untuk diusir dari rumah dan negerinya, sebagaimana yang dilakukan Nabi
dengan mengusirnya ke kawasan bernama an-Naqi'. Abu Bakar juga membuang satu
orang, begitu juga 'Umar bin al-Khatthab melakukan hal yang sama. Ketika Nabi
ditanya oleh 'Umar, mengapa mereka tidak dibunuh, baginda menjawab, ”Aku
dilarang membunuh orang yang masih shalat.” (as-Syaukani, Nailu al-Authar,
II/107).
Demikian halnya
terhadap penyimpangan seksual, Islam bukan hanya melarang tetapi juga mencegah
agar penyimpangan tersebut tidak dilakukan. Islam melarang orang dewasa bermain
dengan anak-anak dan menyodominya, disertai dengan larangan menikahi ibu anak
tersebut. Islam juga melarang suami menyetubuhi dubur istrinya. Larangan ini
untuk mencegah penyimpangan kepada sesama jenis yang lebih parah.
Jika
penyimpangan seksual tersebut dilakukan maka sanksi untuk mereka pun sangat
keras. Mereka wajib dibunuh, sebagian ulama ada yang menyatakan dirajam; ada
yang menyatakan dijatuhkan dari atas bangunan yang tinggi hingga mati. Sanksi
ini bukan hanya berlaku untuk pelaku, tetapi orang yang disodomi juga dikenai
sanksi yang sama. Kecuali, bagi yang dipaksa untuk disodomi.
Selain hukuman
yang keras, Islam juga mengharamkan tayangan atau apa saja yang bisa
mempromosikan penyimpangan di atas, baik dalam bentuk festival film, kontes
waria maupun yang lain. Karena semuanya ini bisa mempromosikan dan menyuburkan
penyimpangan yang diharamkan Islam. Bahkan kalau ada kedutaan atau atase
kebudayaan negara penjajah, seperti Perancis, mensponsori kegiatan tersebut,
maka bukan hanya wajib dilarang dan dihentikan, tetapi bisa ditutup dan diusir
dari negeri kaum Muslim.
c.
Tindakan Hukum dan HAM
Terhadap pelaku
penyimpangan seksual, seperti gay, lesbi, dan sejenisnya, juga terhadap pelaku
penyimpangan perilaku, seperti waria atau sejenisnya, tindakan hukum dalam
Islam sangat keras dan tegas. Tindakan hukum seperti itu harus dilakukan karena
sesungguhnya mereka jelas-jelas telah melakukan penyimpangan perilaku dan
seksual. Penyimpangan perilaku dan seksual ini tidak bisa dianggap sebagai hak
asasi manusia. Dengan berlindung di balik HAM, tidak boleh penyimpangan seperti
ini dipelihara, karena justru penyimpangan seperti ini merusak kehidupan dan
generasi umat manusia, termasuk diri pelakunya sendiri.
Alasan dan
dalil-dalil HAM tidak diakui di dalam Islam dan sama sekali tidak ada nilainya.
Justru alasan dan dalil-dalil seperti ini harus dibuang jauh-jauh dari
kehidupan umat Islam. Karena jelas bertentangan dengan argumen dan dalil-dalil
syariah. Selain itu, harus disadari bahwa penggunaan alasan dan dalil HAM ini
hanyalah justifikasi untuk memelihara penyimpangan yang jelas dilaknat oleh
Allah dan Rasul-Nya ini.
Wallahu a'lam.[]
ConversionConversion EmoticonEmoticon